Selasa, 28 April 2009

sssstttt...Awas Dipecat Gara-gara Facebook

Hati-hati kecanduan situs jejaring sosial face book. Bisa-bisa anda kehilangan pekerjaan seperti yang dialami seorang wanita di Swiss.

Ceritanya wanita yang identitasnya dirahasiakan itu meminta izin pada bosnya karena menderita sakit migrain. Wanita itu mengaku terlalu pusing untuk berada di depan komputer dan harus berbaring di ruangan gelap untuk meredakan sakit kepalanya.

Demikian seperti ditulis ananova.com dari BBC, Senin (27/4/2009).

Namun, perusahaan tempat wanita itu bekerja menemukan wanita itu membuka-buka acount facebook miliknya. Ia pun dituduh sebagai pembohong dan dipecat.

Wanita itu membela diri. Ia mengaku mengakses facebook via handphone miliknya di atas tempat tidur.

Ia pun mencurigai perusahannya telah membuat seorang kawan fiktif yang di-add dalam acountnya. Lewat 'kawan' inilah perusahaan bisa tahu aktivitas wanita ini.

Dugaan ini diperkuat karena 'kawan' tersebut mendadak hilang setelah ia dipecat.

Namun perusahaannya tidak mau ambil pusing. Mereka beralasan, siapapun yang cukup sehat mengakses facebook, berarti cukup sehat juga untuk bekerja di depan komputer

Senin, 23 Maret 2009

yamaha vixion extrem 1

Kamis, 22 Januari 2009

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)

WE WILL NOT GO DOWN (Song for Gaza)
(Composed by Michael Heart)
Copyright 2009


A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Rabu, 14 Januari 2009

YAMAHA V-IXION Modification



Sabtu, 16 Agustus 2008

The 3rd Indonesia's Official Tri-Service Defence Event

The 3rd Indonesia's Official Tri-Service Defence Event

Image The Indonesian Department of Defence will once again host INDO DEFENCE 2008 Expo & Forum – widely recognised by the industry as the most successful International Tri-service Defence event in Indonesia from 19 - 22 November 2008. INDO DEFENCE 2008 Expo & Forum, the 3rd in its series, will host over 500 exhibitors from 40 countries and 20,000 delegates and trade visitors. This is on the back of the overwhelming success of INDO DEFENCE 2004 and 2006 which attracted the attendance of top military officials from Asia and Europe.

INDO DEFENCE has proven to be the event where key decision makers gather. It is little wonder why the biggest industry names such as EADS, Rosoboronexport, Sukhoi, Honeywell, North Sea Boats (Lundin Industry Boats), Atlas Elektronik GmbH, Daewoo Shipbuilding & Marine Engineering Co. Ltd, BAE Systems, Fincantieri, KAI, Tatra, Poongsan Corporation, Pyser SGI (Asia) Pte Ltd, Saab Grintek Communications, Modlex, SAS Internasional and many others have made INDO DEFENCE Expo & Forum their preferred marketing platform to make the right contacts and do business. In addition, national and regional pavilions are being planned for Malaysia, Singapore, Korea, Russia, Germany, The Netherlands, Poland, Czech, India, Iran, Turkey and Indonesia.

Benefit from this once in two years opportunity. Be secure, plan now and reserve your prime location at INDO DEFENCE 2008 Expo & Forum. Please contact Mr. Benny Dwiatmadji at tel: (62-21) 8644756/85, 8650962, fax: (62-21) 8650963 or email: info@indodefence.com

sumber : http://www.indodefence.com

Selasa, 12 Agustus 2008

Beberapa cerita rakyat banten

MASJID SUMPAH TERATE UDIK

Oleh Annisa Ramadhieni

AKISAH di suatu desa berdirilah sebuah mushola kecil, tempat beribadah masyarakat yang berada di sekitarnya. Selain menjadi tempat ibadah, mushola tersebut sering dipakai untuk bermusyawarah, hingga akhirnya mushola itu dijadikan tempat berkumpul masyarakat untuk menyelesaikan masalah-masalah yang menyangkut kehidupan sehari-hari.

Pada suatu hari, datanglah masyarakat berbondong-bondong ke mushola kecil tersebut. Mereka menemui ustadz Wahid, pengurus mushola itu. Pak Ahmad, salah seorang warga masyarakat, maju ke depan dan bercerita kepada ustadz Wahid bahwa terjadi perselisihan perkara tanah antara Pak Tio dan Pak Sidik di balai desa. Ustadz Wahid diminta oleh masyarakat agar menyelesaikan perkara tersebut. Ustadz Wahid pun pergi ke balai desa. Di balai desa, Ustadz Wahid berbicara dengan kedua belah pihak. Masing-masing pihak mengakui bahwa tanah kosong di belakang mushola tersebut adalah miliknya. Tentu saja hal itu sangatlah tidak mungkin. Lalu ustadz Wahid meminta kepada masing-masing pihak untuk berkata sejujur-jujurnya dan apa adanya. Namun hingga senja tiba, kedua belah pihak tetap mengakui bahwa tanah itu milik mereka masing-masing. Ustadz Wahid heran. Kemudian ustadz Wahid memberi usul, bagaimana kalau tanah itu dibagi dua saja. Tapi masing-masing pihak menolak usulan ustadz Wahid, dan bersikeras terhadap pendiriannya masing-masing. Sampai larut malam mereka masih tetap seprti itu. Usatdz Wahid akhirnya memutuskan bahwa perkara ini akan diselesaikan besok pagi di mushola tempat ia tinggal. Dan masing-masing pihak diminta untuk menyiapkan seorang saksi.

Keesokan harinya, kedua belah pihak itu datang ke mushola. Setelah saksi kedua belah pihak datang, barulah musyawarah itu dimulai. Saksi dari kedua belah pihak diminta maju ke depan untuk disumpah. Satu persatu saksi pun disumpah dengan memakai sehelai selendang di hadapan kitab suci Alqur'an.

"Saya berjanji di mushola ini, di depan Al-qur'an, demi Allah bahwa tanah yang ada di belakang mushola ini adalah milik Pak Sidik. Saya yang melihat dan mendengar dengan kepala dan telinga saya sendiri. Ki Ahmad memberikan wasiatnya kepada Pak Sidik sebelum meninggal!" ucap Rahmat, saksi dari pihak Pak Sidik.

"Benar?" tanya Ustadz Wahid.

"Semua itu bohong belaka, Ustadz. Kalian tak boleh berkata seenaknya. Kami dari pihak Pak Tio, sudah mempunyai bukti yaitu surat wasiat KI Ahmad. Surat ini baru kami dapatkan dari orang yang biasa membersihkan kamarnya. Surat ini ditemukan di bawah kasur tempat tidurnya Ki Ahmad!" jelas Randik, saksi dari pihak Pak Tio sambil memperlihatkan surat wasiat tersebut.

Semasa hidupnya Ki Ahmad dikenal sebagai sesepuh desa yang dikenal juga sebagai ulama. Namun sayang, sampai akhir hayatnya Ki Ahmad belum pernah menikah dan tidak mempunyai anak. Sementara itu, kekayaan milik Ki Ahmad tidak ada yang mengurusnya. Hingga akhirnya orang-orang terdekatnya yang dianggap sebagai anak angkat oleh Ki Ahmad sekarang sedang berebut harta kekayaan milik beliau.

Akhirnya, dengan melihat beberapa saksi dan bukti yang meyakinkan, Ustadz Wahid bersama ulama-ulama yang lain memutuskan tanah itu adalah milik Pak Tio. Semua yang mendukung Pak Tio bertepuk tangan gembira. Sementara pihak dari Pak Sidik terlihat muram dan sedih.

Pada malam harinya terdengar berita bahwa Randik, saksi dari pihak Pak Tio tiba-tiba jatuh sakit. Menurut tabib yang memeriksanya, ia terkena penyakit keras yang sudah sangat parah. Beberapa hari kemudian ia meninggal dunia. Pak Tio ketakutan. la merasa bersalah telah menyuruhya untuk bersumpah palsu di hadapan seluruh warga desa. Akhirnya, Pak Tio mengaku bahwa dirinya telah berdusta dan membuat surat wasiat palsu. Pada malam harinya, rumah Pak Tio habis dilalap api. Istri dan anak-anak Pak Tio dapat diselamatkan. Namun Pak Tio tidak bisa diselamatkan lagi. Itulah takdir yang harus Pak Tio terima, karena ia telah membohongi seluruh warga desa. Dari kejadian itu warga desa pun menerima hikmahnya. Kemudian diputuskan bahwa sisa-sisa kekayaan Ki Ahmad akan diwaqafkan dan dipakai untuk membangun mushola dan desa.

Semenjak peristiwa yang menimpa Pak Tio, tak pernah lagi terdengar perselisihan perkara tanah. Namun beberapa waktu kemudian masalah-masalah kembali bermunculan.

Pada suatu malam, terdengar ada seseorang berteriak meminta pertolongan. Ustadz Wahid mendengarnya. Ustadz Wahid pun pergi untuk mencari dari mana asal suara tersebut. Setelah sampai di tempat asal suara tersebut, ustadz Wahid melihat sudah banyak warga desa berdatangan.

"Ada apa ini?" tanya ustadz Wahid heran.

"Begini, Pak Ustadz, rumah Fatimah kecurian. Semua barang-barang berharganya dibawa kabur oleh pencuri!" jawab orang yang menyaksikan peristiwa tersebut. Kemudian ustadz Wahid masuk ke dalam rumah Fatimah. Ustadz Wahid menemukan Fatimah sedang menangis. Lalu ustadz Wahid berusaha menenangkannya. Setelah Fatimah tenang, ustadz Wahid pamit pulang dan ustadz Wahid berjanji akan mencari pencurinya.

Pada keesokan paginya, ada seseorang yang datang ke mushola untuk menemui ustadz Wahid. Orang itu bermaksud untuk berkenalan dengan ustadz Wahid. Orang itu adalah seorang warga yang baru pindah dari kampung sebelah yang bernama Fikar. Orang itu meminta ustadz Wahid datang bersama beberapa warga desa lainnya untuk menghadin syukuran. Ustadz Waliid menerimanya dan ia berjanji akan mengajak teman-teman warga desa lainnya. Sesampainya di rumah Pak Fikar, ustadz Wahid dan warga desa yang lainnya disuguhi berbagai macam makanan yang enak dan lezat. Semuanya merasa senang termasuk ustadz Wahid, terkecuali Pak Umar, suami dari Fatimah yang baru kemarin malam kecurian. Pak Umar merasakan ada sesuatu yang aneh mengganjal di hatinya. Benar saja, ia melihat emas milik istrinya dipakai istrinya Pak Fikar dan ia Juga melihat kalau Pak Fikar memakai cincin batunya yang hilang kemarin malam. Tentu saja Pak Umar merasa curiga, jangan-jangan pencurinya adalah Pak Fikar bersama komplotannya.

Setelah acara usai, terlihat Pak Umar sedang terdiam di teras depan rumah Pak Fikar. Lalu ustadz Wahid menghampinnya.

"Ada apa, Pak Umar? Saya melihat anda dari tadi diam saja," tanya ustadz Wahid.

"Pak ustadz, saya merasa ada yang aneh di sini. Saya melihat emas milik istri saya dipakai oleh istrinya Pak Fikar. Saya juga melihat cincin batu peninggalan bapak saya dipakai oleh Pak Fikar" jelas Pak Umar.

"Mungkin kebetulan saja macam dan bentuknya satna!" ustadz Wahid mengelak.

"Tidak, ustadz. Saya yakin bahwa Pak Fikar adalah seorang pemimpin komplotan pencuri yang merampok rumah saya kemarin malam. Tidak mungkin ada emas yang sama seperti milik istri saya, karena saya khusus memesan satu untuk istri saya. Dan cincin batu itu bapak saya yang membuatnya. Jadi, tidak mungkin ada yang menyamainya. Apalagi dari kampung sebelah."

"Awalnya saya juga merasakan ada sesuatu, tapi perasaan itu hilang saat saya mengetahui kalau Pak Fikar adalah anak dari kakaknya Ki Ahmad. Tapi perasaan itu sekarang muncul kembali setelah saya dengar pengakuan dari Pak Umar!" ucap ustadz Wahid setengah terkejut. Setelah ustadz Wahid pulang, Pak Umar dan beberapa kawannya mencoba menemui Pak Fikar.

Pak Umar mengetuk pintu. Istri Pak Fikar yang membukanya dan memberitahu kalau Pak Fikar sudah tidur. Kemudian, kawan-kawan Pak Umar mencobanya. Dan ternyata, mereka berhasil menemui Pak Fikar. Mereka mencoba mencari tahu tentang cincin dan emas yang ada di tangan Pak Fikar dan istnnya. Sementara itu Pak Umar mengintip dan balik dinding tembikar.

`'0h, ya, Pak Fikar. Cincin yang anda pakai bagus sekali. Dapat dan mana cincin itu?"

"Cincin ini saya dapat kemann dari kakak saya. Saya baru saja mendapatkan warisan yang cukup besar dari kakak saya. Selain itu saya juga mendapat emas dari kakak saya!" jawab Pak Fikar. Namun, kawan-kawan Pak Umar tetap tidak percaya karena emas dan cincin batu yang dipakai Pak Fikar dan istrinya sudah sering mereka lihat dipakai Pak Umar dan Bu Fatimah. Seusai mereka berbasa-basi, akhirnya kawan-kawan Pak Umar pulang ke rumahnya masing-masing.

Pada pagi harinya, Pak Umar dan kawan-kawan menemui ustadz Wahid di mushola. Mereka bermaksud untuk melaporkan yang telah terjadi semalam. Menurut Pak Umar dan kawan-kawan, jawaban Pak Fikar kurang masuk akal dan jelas terbukti bahwa Pak Fikarlah yang telah mencuri barang-barang berharga milik Pak Umar dan Bu Fatimah. Di saat Pak Umar dan Bu Fatimah kehilangan, Pak Fikar dan istrinya mendapatkan barang-barang tersebut. Pak Umar dan kawan-kawannya sangat geram, dari ingin segera mengusir Pak Fikar dan istrinya dari desa ini. Pak Umar dan kawan-kawannya membuat sebuah rencana. Mereka akan melabrak rumah Pak Fikar, dan mencari barang-barang yang bisa dijadikan sebagai bukti, Tapi rencana mereka gagal karena telah diketahui ustadz Wahid, dan ustadz wahid menghalau mereka di tengah jalan. Ustadz Wahid memutuskan untuk bicara baik-baik dengan Pak Fikar. Ustadz Waiiid akan mengajak Pak Fikar bersumpah di mushola esok harinya.

Matahari telah kembali di ufuk Timur, sinar kembali terang. Pagi-pagi sekali Pak Umar dan istrinya datang beserta kawan-kawannya. Tak lama kemudian Pak Fikar dan istrinya tiba di mushola. Setelah ustadz Wahid mempersiapkan segala sesuatunya akhirnya Pak Fikar disumpah. Pak Fikar harus berkata sejujur mungkin dengan apa adanya.

"Saya berjanji, demi Allah bahwa saya tidak pernah mencuri barang-barang dari rumah Pak Umar!" janji Pak Fikar. Seusai Pak Fikar disumpah, mereka pulang ke rumahnya masing-masing.

Seminggu kemudian tersiar kabar bahwa Pak Fikar menderita penyakit yang sangat aneh. Tubuhnya berbau seperti ikan, di kulitnya tumbuh bisul-bisul yang sangat menjijikan. Semua anggota tubuhnya lumpuh. Sehingga istrinya tak tahan merawat suaminya lagi, dan istrinya pergi meninggalkannya. Beberapa hari kemudian Pak Fikar meninggal dunia dan dimakamkan di sebelah makam kakaknya.

Berita meninggalnya Pak Fikar membuat seluruh warga menjadi geger. Sehingga seluruh warga desa menganggap mushola itu adalah tempat bersumpah keramat. Dan kabar itu terdengar oleh warga desa seberang, sehingga banyak orang-orang yang sengaja ingin mengunjungi mushola tersebut. Pada suatu saat datang warga desa berbondong-bondong ke mushola tersebut. Mereka meminta bantuan kepada ustadz Wahid untuk menyumpah seseorang yang dituduh sebagai penjarah di pasar. Ustadz Wahid menyanggupinya. Tidak lama kemudian penyumpahan pun dimulai.

"Saya bersumpah demi Yang Maha Pencipta, bahwa saya tidak pernah menjarah di pasar atau pun di tempat lainnya.!" janji orang tersebut. Beberapa minggu kemudian, tidak pernah terjadi apa-apa terhadap orang tersebut. Dan ia dinyatakan tidak bersalah. Semenjak saat itu warga desa menganggap bahwa mushola itu adalah tempat yang harus dijaga dan dilestarikan. Dan akhirnya mushola itu diperbesar dan dijadikan masjid tempat untuk beribadah.

Dari peristiwa tersebut kita bisa mengambil banyak hikmah, bahwa kebaikan itu akan selalu terbukti dan kejahatan pasti akan diketahui walau sekecil apapun. Selain itu kita harus pintar menjaga mulut, agar mulut kita tidak dipergunakan untuk bersumpah sembarangan.

Masjid Terate Udik, itulah nama masjid yang biasa dipakai oleh orang-orang sebagai tempat bersumpah. Akan tetapi, hanya orang-orang yang benar-benar dan bersungguh-sungguhlah yang mau bersumpah di masjid ini. Sampai sekarang masjid ini masih ada dan dijaga serta dilestarikan karena masih dipercayai sebagai masjid sumpah. Namun sayangnya, Masjid Terate Udik yang berada di kampung Terate Udik, desa Masigit, kecamatan Cilegon, kota Cilegon konon ceritanya tidak bisa diabadikan oleh kamera atau pun sejenisnya. Karena hasilnya tidak akan pernah jadi. Begitulah Masjid Terate Udik, masjid yang banyak menyimpan masalah-masalah yang tak terpecahkan.


PANGERAN PANDE GELANG DAN PUTRI CADASARI

Oleh Zaenul Muttaqien

DI tengah sebidang kebun manggis, seorang putri yang cantik jelita duduk termenung. Sorot matanya kosong, bibirnya terkatup rapat menandakan dia sedang bermuram durja.

Tidak jauh dari tempat sang Putri duduk, melintaslah seorang lelaki paruh baya dengan karung di pundaknya. Lelaki itu tertegun sesaat manakala melihat sang Putri. Wajah lelaki itu tampak penuh kekhawatiran.

"Sampurasun," sapanya.

Sang Putri tak menyahut. Dia benar-benar larut dalam kesedihannya, sehingga tidak menyadari kehadiran lelaki itu.

"Sampurasun," Lelaki itu mengulang sapa.

"Ra... rampes," Sang Putri terkejut. "Si... siapa?"

"Maaf jika saya telah mengejutkan Tuan Putri," kata lelaki itu seraya menundukkan kepalanya.

Sang Putri tidak segera menjawab. Dia memperhatikan penuh seksama lelaki yang berdiri di hadapannya. Wajah lelaki itu tidaklah tampan, kulitnya pun legam. Namun Putri merasa yakin, lelaki itu adalah lelaki baik. Seumpama buah manggis: hitam dan pahit kulitnya, tapi putih dan manis buahnya.

"Sedari tadi tadi saya perhatikan, Tuan Putri tampak gundah gulana. Ada apa gerangan?"

"Saya kira tak ada guna menceritakan masalah yang saya hadapi kepada orang lain."

"Kalau begitu, maafkan saya telah mengganggu Tuan Putri. Saya berharap Tuan Putri berkenan melupakan pertanyaan saya tadi," ujar lelaki itu seraya hendak berlalu.

"Tunggu, Kisanak. Jangan pergi dulu!" Sang Putri mencegah.

Lelaki itu mengurungkan niatnya. Sejenak dia melirik sang Putri.

"Sekali lagi maafkan saya," pinta sang Putri. "Bukan maksud saya menyinggung perasaan Kisanak, apalagi menganggap rendah."

Beberapa saat sang Putri terdiam. Kemudian tiba-tiba saja matanya membasah. Sang Putri menangis.

Lelaki itu duduk di dekat sang Putri. Hatinya diliputi keingintahuan yang besar tentang apa yang sebenarnya terjadi.

"Siapa nama Kisanak?" tanya sang Putri.

"Saya... saya pembuat gelang. Pande gelang. Orang-orang sering memanggil saya dengan sebutan Ki Pande."

"Baiklah, Ki Pande. Saya akan bercenta, mudah-mudahan cerita saya akan menghilangkan penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena saya merasa hanya akan sia-sia belaka. Tidak akan ada seorang pun yang bisa membantu saya," jelas sang Putri dengan mata berkaca-kaca.

"Tapi mengapa Tuan Putri mau menceritakannya kepada saya?"

"Saya hanya ingin menghilangkan penasaran Ki Pande,"

Ki Pande tidak berkata-kata lagi. Dia hanya menundukkan kepala dengan hati dipenuhi rasa iba.

"Nama saya Putri Arum ...." sang Putri memulai centanya.

Menurut Putri Arum, dirinya sedang mendapat tekanan dari seorang pangeran bernama Pangeran Cunihin. Meskipun tampan, Pangeran Cunihin sangatlah bengis dan kejam. Selain itu, Pangeran Cunihin pun sangat berkuasa dan sakti mandraguna. Apa pun yang diinginkannya harus terpenuhi. Semua titah tak bisa berbantah.

"Saya sangat sedih, Ki, karena dia akan menjadikan saya sebagai istrinya," Putri Arum mengakhiri ceritanya.

"Saya ikut bersedih," Ki Pande tak kuasa menahan airmata. "Maafkan saya, karena tidak banyak yang bisa saya lakukan untuk membantu Putri."

"Saya mengerti, Ki. Tidak ada seorang pun yang bisa mengakhiri angkara Pangeran Cunihin," ujar Putri Arum lirih. "Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya."

"Wangsit?" tanya Ki Pande.

"Ya. Menurut wangsit, saya harus menenangkan diri di bukit manggis ini. Kelak katanya akan ada seorang pangeran yang baik hati, manis budi pekertinya, dan sakti mandraguna, yang datang menolong saya. Namun penantian ini hampir sia-sia. Tiga hari lagi Pangeran Cunihin akan datang dan memaksa saya kawin dengannya. Barangkali ini sudah suratan takdir saya, Ki, sebab setelah sekian lama, dewa penolong yang hatinya seputih dan semanis buah manggis itu ternyata tak kunjung tiba," tutur Putri Arum menghiba.

Mendengar hal tersebut, KI Pande mengenyitkan dahi, seolah ada yang tengah dipikirkannya.

"Oh, tadi Aki mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membantu saya?" tanya Putri Arum, teringat kata-kata Ki Pande.

"Benar," jawab Ki Pande.

"Itu berarti, meskipun sedikit ada yang bisa Aki lakukan untuk saya!" seru Putri Arum, penuh harap.

"Barangkali itu tidaklah berarti," kata Ki Pande.

"Katakan saja, Ki," Putri Arum penasaran.

"Saya hanya ingin menyumbang saran. Terima saja keinginan Pangeran Cunihin itu."

"Apa Aki sudah gila? Bagaimana saya mau dipersunting lelaki yang sangat saya benci?" sergah Putri Arum dengan wajah memerah.

Ki Pande sangat terkejut dengan perubahan itu, tapi dia berusaha tetap tenang. "Maksud saya, terima saja keinginan dia tapi dengan syarat."

"Dengan syarat?" tanya Putri Arum setengah bergumam.

"Ya, dengan syarat yang sangat susah dipenuhi."

"Hal apa yang tidak bisa dilakukan Pangeran Cunihin? Dia sangat sakti mandraguna. Laut saja bisa dikeringkannya!"

"Yakinlah, Tuan Putri. Tidak semua orang akan jaya selamanya," Ki Pande berusaha meyakinkan Putri Arum.

"Kalau begitu, apa syarat yang Aki maksudkan?"

"Pangeran Cunihin harus melubangi batu keramat supaya bisa dilalui manusia. Kemudian batu tersebut harus diletakkan di pesisir pantai. Semuanya harus dikerjakan tidak lebih dan tiga hari," Ki Pande menjelaskan.

"Bukankah syarat itu sangat mudah dilakukan oleh Pangeran Cunihin?"

"Tapi tidak semua orang mau melakukannya. Sebab dengan melubangi batu keramat, setengah dari kemampuan orang tersebut akan hilang."

"Setelah itu"" tanya Putri Arum.

"Serahkan semuanya kepada saya!"

Mendengar seluruh penjelasan Ki Pande, akhirnya Putri Arum menyetujui. Ki Pande kemudian mengajak Putri Arum ke tempat tinggalnya, sambil membawa karung yang berisi alat-alat membuat gelang.

Perjalanan menuju tempat tinggal Ki Pande sangat melelahkan Putri Arum. Sudah hampir setengah hari perjalanan, mereka belum juga sampai. Putri Arum pun jatuh pingsan di atas sebuah batu cadas. Orang-orang kampung membantu Ki Pande rnembawa Putn Arum ke rumah salah seorang penduduk dan merawatnya dengan penuh kasih sayang. Salah seorang tetua kampung mengatakan bahwa Putri Arum bisa segera pulih jika minum air gunung yang memancar melalui batu cadas.

Beberapa orang kampung bergegas mencari sumber mata air batu cadas. Dan keajaiban pun terjadi, Putri Arum kembali sehat setelah meminum air yang berasal dari batu cadas itu. Penduduk kampung lalu memanggil Putri Arum dengan sebutan baru yaitu Putri Cadasari.

Sementara itu, Ki Pande tengah menyiapkan rencana baru. Dia membuat gelang yang sangat besar, yang bisa dilalui manusia. Menurut Ki Pande, gelang tersebut akan dipasang pada lingkaran lubang batu keramat yang dibuat Pangeran Cunihin.

Waktu yang ditentukan Pangeran Cunihin pun tiba. Dia datang menemui Putri Cadasari dan menagih jawaban. Putri Cadasan pun mengajukan syarat kepada Pangeran Cunihin.

"Hahaha, itu syarat yang sangat gampang, Tuan Putri. Tapi apa maksud dari syarat itu?" tanya Pangeran Cunihin.

Putri Cadasari terkejut mendapat pertanyaan seperti Itu. Tapi dia segera menyembunyian keterkejutannya. "Saya hanya ingin agar bulan madu kita tidak terganggu, Pangeran. Duduk di atas batu sambil menikmati birunya laut, bukankah itu sangat menyenangkan, Pangeran?" jelas Putri Cadasari.

"Wah, Tuan Putri memang sangat romantis!" puji Pangeran Cunihin, pula.

Tak sampai tiga hari dan tanpa halangan yang berarti, Pangeran Cunihin berhasil menemukan batu keramat yang disyaratkan. Batu keramat itu kemudian dibawanya ke sebuah pesisir yang sangat indah. Ki Pande dan Putri Cadasari diam-diam mengkuti dari kejauhan. Di tempat yang terlindung mereka bersembunyi, menyaksikan apa yang dilakukan Pangeran Cunihin.

Pangeran Cunihin tampak duduk bersila di hadapan batu keramat. Dengan konsentrasi penuh, Pangeran Cunihin menempelkan dua telapak tangannya ke batu keramat. Tiba-tiba tangan Pangeran Cunihin bergetar. Sesaat kemudian batu keramat itu pun retak dan berjatuhan. Sungguh ajaib, sebuah lubang yang sangat besar tercipta di tengah batu keramat itu.

"Hahaha, aku berhasil. Tuan Putri akan segera menjadi milikku!" Pangeran Cunihin mengangkat kedua tangannya seraya berlari mencari Putri Cadasari.

Kesempatan itu tak disia-siakan Ki Pande untuk memasang gelang besar pada batu keramat yang telah berlubang Itu. Setelah itu dia kembali hendak bersembunyi, tapi didengarnya sebuah bentakan keras.

"Heh tua bangka, sedang apa kau di sini?!"

Ternyata Pangeran Cunihin telah berada kembali di situ, bersama Putri Cadasari.

"0, aku tahu. Rupanya kau sedang mengagumi mahakaryaku. Bukankah aku pernah mengatakan kepadamu bahwa kau tidak pantas menjadi pemenang. Kau hanya pantas menjadi pecundang! Hahaha!" Pangeran Cunihin tertawa puas. "Lihatlah, sang Putri telah menjadi milikku. Kau tidak bisa lagi memilikinya!"

Putri Cadasari terkejut heran mendengar omongan Pangeran Cunihin, seolah telah mengenal Ki Pande sebelumnya. Namun belum lagi keheranan itu terjawab, Pangeran Cunihin telah menarik tangan Putri Cadasari untuk melihat batu keramat yang telah berlubang itu.

"Tuan putri, lihatlah! Keinginan Tuan Putri telah terwujud. Sebuah batu besar berlubang di pesisir pantai. Sungguh sebuah tempat yang indah dan romantis," kata Pangeran Cunihin.

Putri Cadasari berusaha bersikap tenang dan mencoba menunjukkan kegembiraan, w alau di dalam hatinya dia merasa sangat takut impian buruknya menjadi pendamping Pangeran Cunihin akan menjadi kenyataan.

"Apa karena terlalu gembira saya seakan tidak bisa melihat bahwa batu ini telah berlubang?" kata Putri Cadasan.

"Hm, baiklah. Jika Tuan Putri tidak percaya, saya akan melewati batu ini untuk membuktikannya," jawab Pangeran Cunihin.

Tanpa berpikir panjang, Pangeran Cunihin kemudian berjalan melewati lubang batu keramat itu. Tapi tiba-tiba Pangeran Cunihin merasakan tubuhnya sakit luar biasa. Dia berteriak-teriak sekuat tenaga. Suaranya memecah angkasa. Lalu seluruh kekuatannya pun menghilang. Dia terduduk lemah, tak kuasa berdiri. Perlahan, Pangeran Cunihin berubah menjadi seorang tua renta tanpa daya, seolah telah melewati lorong waktu. Sementara itu, KI Pande pun berubah menjadi seorang pemuda tampan.

"Bagaimana semua ini bisa terjadi?" Putri Cadasari tidak mengerti menyaksikan keanehan-keanehan itu.

"Sebenarnya ini semua akibat perbuatan Pangeran Cunihin. Dulu kami berteman. Tapi setelah mendapat kesaktian dari guru, dia mencuri seluruh ilmu dan kesaktian saya, lalu menjadikan saya sebagai seorang yang sudah tua. Saya kemudian mencari kesaktian untuk mengembalikan keadaan saya. Ternyata hanya satu yang bisa mengembalikan keadaan itu, yakni Jika Pangeran Cunihin melewati gelang-gelang buatan saya," terang Ki Pande seraya menatap ke arah Pangeran Cunihin yang terkulai tak berdaya.

"Kini saya telah kembali seperti sedia kala. Ini semua karena jasa Tuan Putri. Untuk itu saya menghaturkan terima kasih," ujar Pangeran Pande Gelang, menggenggam tangan Putri Cadasari.

"Ah, sayalah yang seharusnya berterima kasih, Pangeran. Ternyata wangsit yang saya terima itu memang benar."

Akhirnya, keduanya meninggalkan batu keramat berlubang itu. Beberapa waktu kemudian mereka pun menikah dan hidup berbahagia sampai akhir hayatnya.

Tempat mengambil batu keramat tersebut kemudian dikenal dengan kampung Kramatwatu, dan batu besar berlubang di pesisir pantai kini dikenal dengan nama Karang Bolong. Sedangkan tempat sang Putri melaksanakan wangsit di bukit manggis, kini orang mengenalnya dengan kampung Pasir Manggu. Manggis dalam bahasa Sunda berarti Manggu dan pasir berarti bukit. Sementara tempat Putri disembuhkan dari sakitnya sampai kini bernama Cadasari di daerah Pandeglang, tempat Pangeran Pande Gelang membuat gelang.

LEGENDA GUNUNG PINANG

oleh: Adkhilni MS

SEMILIR angin senja pantai teluk Banten mempermainkan rambut Dampu Awang yang tengah bersender di bawah pohon nyiur. Pandangannya menembus batas kaki langit teluk Banten. Pikirannya terbang jauh. Jauh sekali. Meninggalkan segala kepenatan hidup dan mengenyahkan kekecewaan atas ibunya. Menuju suatu dunia pribadi dimana hanya ada dirinya sendiri. Ya, hanya dirinya.

"Ibu tidak akan izinkan kamu pergi, Dampu." Dia teringat kata-kata Ibunya tadi pagi.

"Tapi, Bu..." sergah Dampu Awang.

"Tidak! Sekali tidak, tetap tidak!'' Wajah ibunya mulai memerah. "Ibu tahu, nong. Kamu pergi supaya kita tidak sengsara terus. Tapi ibu sudah cukup dengan keadaan kita seperti ini," lanjut ibunya sambil terus menginang.

"Ibu, Dampu janji. Kalau Dampu pulang nanti, Dampu akan membahagiakan ibu. Dampu akan menuruti segala perintah ibu. Coba ibu bayangkan, nanti kita akan kaya, Bu. Kita akan bangun rumah yang besar seperti rumah para bangsawan." Dampu Awang merayu ibunya.

"Dampu ... Ibu lelah," ujar ibunya. "Ibu sudah bosan mendengar ocehanmu tentang harta kekayaan. Setiap hari kamu selalu saja melamun ingin cepat kaya"

Perkataan itu betul-betul menohok tepat di ulu hati Dampu.

"Kamu tahu nong," Ibu melanjutkan ceramahnya. "Ibu masih kuat sampai sekarang, itu karena kamu. Karena masih ada kamu, Dampu. Nanti kalau kamu pergi, siapa yang menemani ibu? Sudahlah, Dampu... Ibu sudah lelah"

Selepas shalat maghrib Dampu Awang kembali menemani laut dari beranda rumah. Wajahnya masih menyisakan harapan sekaligus kekecewaan yang teramat sangat mendalam. Batinnya terus menerus bergejolak. la masih kesal dengan ucapan ibunya.

Apakah ibu tidak tahu di Malaka sana banyak sekali pekerjaan yang akan membuat aku kaya? ujar Dampu dalam hati. Dan kalau aku kaya, tentu ibu akan turut kaya raya. Seharusnya ibu melihat jauh ke masa depan, kita tidak akan kaya kalau kita selamanya hidup di kampung nelayan miskin ini terus.

Kesempatan ini telah lama aku nantikan. Seorang saudagar asal Samudera Pasai datang berdagang ke Banten. Setelah satu bulan lamanya menetap di Banten, kini saatnya saudagar itu angkat sauh dan kembali berlayar ke negeri asal. Tinggal satu minggu lagi, kapal itu akan berlabuh. Namun, ibu belum juga memberikan izin.

"Dampu..." ucap ibunya lembut, khawatir mengagetkan anaknya.

Dampu melihat ibunya tersenyum. Di matanya ada kehangatan cinta yang mendalam. Batin Dampu kembali terguncang. Hatinya terus bertanya-tanya.

"Ada apa, Ibu?" tanya Dampu.

Ibu hanya tersenyum. Matanya meneravvang mencari bintang di langit cerah kemudian memandang' deburan ombak di lautan yang bersinar karena ditimpa sinar gemerlap rembulan.

Betapa bahagia hati Dampu Awang mendengar ibunva memberi izin. la merasakan dadanya menghangat. seolah diselimuti pusaran energi yang dahsyat. Matanya mulai berembun. Dampu Awang pun membentuk sebuah lengkungan manis di bibirnya.

"Terima kasih, Ibu..."

Deburan ombak, semilir angin laut, bau asin pantai, kepak sayap burung-burung camar, lambaian orang-orang kampung, mengiringi kepergian rombongan saudagar dari pelabuhan. Dampu Awang melihat ibunya meratapi kepergiannya. Sebening embun menggenang di pelupuk mata. Masih terngiang di telinganya petuah-petuah yang diberikan ibunya sesaat sebelum ia pergi.

"Dampu..." ujar ibunya, "Ibu titip si Ketut. Kamu harus merawat si Ketut baik-baik, ya nong. Si Ketut ini dulunya peliharaan bapakmu. Bapakmu dulu sangat menyayangi si Ketut. la sangat mahir sebagai burung pengirim pesan. Kamu harus rutin mengirimi ibu kabar. Jaga baik-baik si Ketut seperti kamu menjaga ibu, ya nong," Ibu melanjutkan petuah-petuahnya. Air matanya sudah tidak mampu dibendung lagi.

"Enggih, Bu." Hanya itu yang mampu Dampu ucapkan saat ibunya memberikan puluhan petuah sebelum Dampu berlayar. Tapi ia berjanji akan mengirimi Surat untuk Ibunya tercinta setiap awal purnama.

Setiap hari, saat bola api langit masih malu-malu menyembulkan jidatnya di permukaan bumi, Dampu Awang bekerja membersilikan seluruh galangan kapal dan merapihkan barang-barang di kapal saudagar Teuku Abu Matsyah.

Hari berganti, bulan bergulir, tahun bertambah. Dampu Awang kini terkenal sebagai pekerja yang rajin. Tak aneh, jika Teuku Abu Matsyah begitu perhatian padanya. Bahkan Siti Nurhasanah, putri Teuku Abu Matsyah, diam-diam menaruh hati padanya. Hingga suatu hari Teuku Abu Matsyah memanggil Dampu Awang untuk berbicara empat mata.

"Dampu..." Ujar Abu Matsyah mengawali pembicaraan.

"Saya, Juragan"

"Kita Sudah saling kenal lebih dari lima tahun. Itu bukanlah waktu yang sebentar untuk saling mengenal," suara Abu Matsyah terdengar berat. -Saya kagum dengan kerajinanmu, Dampu."

"Terima kasih, Juragan"

"Karena itu, saya berniat untuk menjodohkan kamu dengan putriku. Siti Nurhasanah," kata Abu Matsyah seraya menyisir-nyisir janggut putihnya.

Dampu Awang terkejut bukan main. la tak menyangka Teuku Abu Matsyah berbuat sejauh ini. Diam-diam ia memang mencintai Siti Nurhasanah, tapi apa pastas? Lantas bagaimana dengan restu ibunya di Banten'? Apakah ia marnpu membahagiakan Siti? Berpuluh-puluh pertanyaan bersarang di kepala Dampu Awang.

"Bagaimana, Dampu?" Pertanyaan Abu Matsyah membawa Dampu Awang kembali ke alam nyata.

"Maaf, Juragan. Saya bukan rnenolak niat baik juragan." Dampu menanti saat yang tepat. "Tetapi apakah saya pastas?"

"Jadi kamu menolak niat baik saya, Dampu?"

"Maaf. Juragan. saya tidak berani menolak niat baik juragan. Tapi ..."

Sudah satu dasawarsa Dampu Awang meninggalkan tanah kelahirannya. la hanya mengirimkan empat kali surat kepada ibunva di Banten. Hingga suatu hari, tersiarlah kabar akan ada saudagar besar dari Malaka. Kabar itu merembet dengan cepat seperti kecepatan awan yang ditiup angin. Setiap orang ramai membicarakan kekayaan saudagar itu.

"Jangan-jangan Dampu Awang pulang," ujar ibunya sumringah. "Dampu Awang, putraku, akhirnya pulang." Ujar ibunya lagi. Dari suaranya tercermin jelas keharuan dan kegembiraan yang tiada terkira. Yang tidak akan mampu terangkum dalam rangkaian kata atau terlalu besar untuk disimpan di dalam gubuk reotnya.

"Alhamdulillah, hatur nuhun Gusti Allah. Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah," berkali-kali wanita itu berucap syukur.

"Woi! Kapalnya sudah datang!" seseorang berseru dari arah pantai

"Hei lihat! Kapalnya besar sekali!" sahut orang yang lain.

Kapalnya luar biasa besar dan megah. Sampai-sampai membentuk bayangan di pantai. Kayunya dari bahan kayu pilihan. Layarnya luas terbentang. Para awak kapal yang gagah tengah sibuk menurunkan barang bawaan.

Penduduk Banten semakin lama semakin banyak yang merubungi pantai. Mereka penasaran siapa yang datang berkunjung. Ibu Dampu Awang adalah salah satu diantara lautan manusia yang semakin membludak saja itu. Tampang Ibu Dampu Awang lusuh bukan main, bahkan pakaiannya lebih kumal dibanding bendera kapal megah itu.

Sementara itu, di dalam kapal Dampu Awang gelisah. la sekarang sudah menjadi pewaris kekayaan tunggal dari Teuku Abu Matsyah. Sejak Dampu menikah dengan Siti Nurhasanah, mertuanya itu mempercayakan seluruh harta kekayaannya kepada Dampu. Selang beberapa lama Teuku Abu Matsyah meninggal dunia. Dan kini, namanya sudah tersohor menjadi pedagang yang kaya raya dari Malaka.

Sengaja ia singgah di kampung halamannya, ingin melihat apakah ibunya masih hidup. Hanya untuk sekadar melihat saja. Ratusan pasang tatap mata mengiringi seorang lelaki tampan nan gagah yang keluar dari ruangan kapal. Bajunya terbuat dari kain emas dan pecinya sangat indah sekali. Di pinggangnya terselip golok sakti yang menjadi idaman setiap pendekar. Di pundaknya bertengger seekor burung perkutut yang terlihat sangat sehat.

Di samping lelaki itu terdapat seorang perempuan cantik yang digapitnya mesra. Dia pasti istrinya. Wajahnya putih bersih dan bercahaya. Sedangkan rambutnya hitam legam seperti langit malam. Suatu kombinasi yang sempurna. Cantik sekali!

"Dampuuuuuu! Dampu Awaaaaaang! Ini Ibu. Di sini. Sebelah sini!" teriak Ibu Dampu Awang sambil melambai-lambaikan tangan. Mendadak wanita tua itu kembali mendapatkan tenaganya kembali. Gairah yang ia rasakan seperti dulu sebelum Dampu Awang, putranya, pergi.

"Dampu Awaaaaaang!" teriak sang ibu sekali lagi.

Semua perhatian terpusat pada Ibu Dampu Awang yang dari tadi berteriak-teriak. Semua heran, apa betul wanita tua dekil ini adalah ibu dari saudagar yang kaya raya itu.

"Kang Mas, apa betul dia ibumu?" tanya istri Dampu Awang. "Mengapa Kang Mas tidak pernah cerita, kalau orang tua Kang Mas masih hidup'?"

"Tidak! Wanita tua itu bukan ibuku!" tampik Dampu Awang dengan cepat. "Dia hanya seorang wanita gila yang sedang meracau!"

Dari atas kapal Dampu Awang menatap kerumunan penduduk yang wajahnya tampak kebingungan.

"Wahai penduduk Banten!" seru Dampu Awang. "Tidak usah bingung. Dia bukan ibuku. Kedua orang tuaku sudah mati. Mereka adalah manusia terhormat yang kaya raya. Bukan seperti wanita tua itu yang berpakaian compang camping dan miskin sengsara!"

Perkataan Dampu Awang tadi bagai petir di siang bolong. Seperti ada godam besar yang menghujam berkali-kali ke sanubari Ibu Dampu Awang. Perasaannya lebih sakit dibanding saat kematian suaminya atau saat melepas putranya berlayar.

"Hei, wanita tua gila!" Dampu Awang menunjuk ibunya. "Aku tidak pernah mempunyai ibu sepertimu. Demi Allah, ibuku adalah seorang yang kaya raya, bukan seorang wanita miskin yang hina sepertimu!"

Luka yang ditorehkan oleh ucapan Dampu Awang itu semakin membesar. Menganga di dalam hati sang ibu. Sang ibu tertunduk lesu. la bersimpuh di atas kedua lutut keriputnya.

"Nakhoda, cepat kita pergi dari sini. Batalkan janji bertemu dengan Sultan. Kita akan lanjutkan perjalanan!" Dampu Awang memerintah. la harus lekas pergi sebelum orang-orang tahu kalau wanita tua yang dekil itu adalah ibu kandungnya. Mau ditaruh di mana mukaku, ujarnya dalam hati.

Sang ibu tertunduk lesu. Air matanya semakin tidak terbendung. Harapan, kebahagian, kegembiraan, suka cita, yang telah dihimpunnya selama puluhan tahun, kini seolah semuanya telah menguap tanpa bekas. Penantiannya selama puluhan tahun harus berakhir dalam kesakithatian yang semakin mendalam.

"Duhai, Gusti. Hampura dosa," Ibu Dampu awang berdoa. "Kalau memang benar dia bukan anakku, biarkan ia pergi. Tapi kalau dia adalah putraku, hukumlah ia karena telah menyakiti perasaan ibunya sendiri." Ibu Dampu Awang khusyuk berdoa. Khidmat.

Tiba-tiba langit gelap. Awan-awan hitam datang tanpa diundang. Berkumpul menjadi satu kesatuan. Hitam dan besar. Hingga sinar matahari pun tidak mampu lagi terlihat. Siang hari yang cerah mendadak seperti malam yang gelap gulita. Petir. Kilat. Guntur. Saling sambar menyambar. Hujan deras.

"Ada badai. Cepat berlindung!" teriak seorang warga.

Langit muntah. Langit muntah. Muntah besar. la menumpahkan segala yang dikandungnya. Dunia serasa kiamat. Dampu Awang beserta kapalnya terombang-ambing di lautan. Dipermainkan oleh alam. Allah telah menjawab rintihan seorang hamba yang didzalimi. Para awak kapal ketakutan, mereka ramai-ramai menerjunkan diri ke laut. Petir menyambar galangan kapal dan layar. Tiang-tiang kapal tumbang.

Tiba-tiba keajaiban terjadi. Si Ketut bisa bicara. "Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang."

"Tidak! Dia bukan ibuku! Dia bukan ibuku. Ibuku telah mati!" sergah Dampu Awang.

"Akuilah....Akuilah... Akuilah ibumu, Dampu Awang" si Ketut mengulangi ucapannya.

"Ya Allah, berilah pelajaran yang setimpal sebagaimana yang ia lakukan padaku," Ibu Dampu Awang kembali berdoa.

Angin puyuh besar pun datang. Meliuk-liuk ganas di atas laut. Menyedot dan terus berputar. Kapal Dampu Awang ikut tersedot. Kapal Dampu Awang terbang masuk ke dalam pusaran angin puyuh. Berputar-putar. Terus berputar dalam pusaran angin puyuh.

"lbuuuuuu, tolong aku! Ini anakmu Dampu Awang!" Dampu Awang berteriak ketakutan.

Sang Ibu tetap tidak bergeming.

Kapal yang berisi segala macam harta kekayaan itu dipermainkan oleh angin. Berputar-putar. Dan akhirnya terlempar jauh ke selatan. Jatuh terbalik.

Menurut penuturan masyarakat, kapal Dampu Awang yang karam berubah menjadi Gunung Pinang. Gunung itu terletak tepat di samping jalur lalu lintas Serang - Cilegon, kecamatan Kramat Watu, kabupaten Serang, propinsi Banten. Hingga kini, setiap orang dengan mudah dapat menyaksikan simbol kedurhakaan anak pada ibunya itu.

ASAL MUASAL BATU KUWUNG

Oleh Endang Rukmana

DAHULU pernah hidup seorang saudagar kaya raya yang mempunyai hubungan sangat erat dengan kekuasaan Sultan Haji. anak dari Sultan Ageng Tirtayasa. Karena kedekatannya tersebut, sang Saudagar mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada dari Lampung. Tak ayal, usahanya pun maju pesat.

Harnpir semua tanah pertanian di desa-desa yang berdekatan dengan tempat tinggal sang Saudagar menjadi miliknya. la membeli tanah-tanah tersebut dari para petani dengan harga yang rendah. Biasanva setelah petani-petani tersebut tidak mampu lagi mernbayar hutang dengan bunga yang beranak-pinak dan sudah habis jatuh tempo kepada sang Saudagar.

Selain itu, sang Saudagar diangkat menjadi seorang kepala desa di ternpat tinggalnya. Tetapi ia menyalahgunakan kekuasaan yang diberikan dengan memungut pajak yang lebih tinggi dari tarif yang diharuskan. Karena kekayaan dari kekuasaannya itu, ia menjadi orang yang sangat sombong dan seringkali bertindak sewenang-sewenang.

Sang Saudagar juga sangat kikir. Apabila ada orang, lain tertimpa musibah dan membutuhkan pertolongan, ia sama sekali tidak mau memberikan bantuan. Bahkan saking pelitnya, ia tidak mau menikah meskipun umurnya telah berkepala empat. Baginya. menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan.

la hidup bermewah-mewahan, sedangkan orang-orang di sekitarnya dirundung kemiskinan, sehingga sangat beralasan, jika hampir semua penduduk desa membencinya. Untuk melindungi harta dan nyawanya saja, ia memelihara beberapa orang pengawal pribadi.

Syahdan, suatu hari di desa tempat tinggal sang Saudagar kaya raya itu, lewatlah seorang sakti yang menyamar sebagai seorang pengemis lapar dengan kaki pincang. Sebelumnya, Orang Sakti ini sudah tahu mengenai perangai buruk sang Saudagar, dikarenakan keburukannya sudah jadi obrolan rutin penduduk, di pasar atau di warung-warung kopi. la datang ingin memberi pelajaran dan menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir tersebut.

Maka, si Pengemis berkaki pincang yang tidak lain adalah seorang sakti itu mampir menemui sang Saudagar di rumahnya yang besar dan mewah. Si Pengemis mengutarakan maksudnya menemui sang Saudagar untuk meminta sedikit makanan pengganjal perut dan sedikit kekayaan sebagai modal usaha.

Tetapi sang Saudagar memang sangat kikir. Bukannya memberi, ia malah memaki-maki si Pengemis berkaki pincang.

"Hal pengemis hina, apa kau pikir kekayaan yang kumiliki sekarang ini jatuh begitu saja dari langit, heh?! Enak saja kau meminta-minta kepadaku, dasar pemalas!" hardik Sang Saudagar seraya mendorong tubuh si Pengemis berkaki pincang, hingga jatuh tersungkur mencium tanah.

Mendapat perlakuan seperti itu, si Pengemis berkaki pincang pun murka. la memperingatkan bahwa sang Saudagar akan mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatannya.

"Hai Saudagar yang sombong dan kikir, kau pun harus merasakan betapa lapar dan menderitanya aku!" ujar si Pengemis berkaki pincang. Setelah berkata demikian, segera si Pengemis berkaki pincang raib dari pandangan mata. Melihat kejadian tersebut sang Saudagar terkejut bukan main.

Benar saja. Esok hari ketika sang Saudagar bangun dari tidur, ia tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menggerakkan kakinya, tetapi tetap saja tidak bisa. Sang Saudagar pun panik. la bertenak-teriak histeris. Para pengawal pribadinya segera berdatangan mendengar teriakan sang Saudagar tersebut.

Jadilah sang Saudagar menderita kelumpuhan pada kedua kakinya. la memerintahkan kepada pengawal pribadinya mencari tabib-tabib sakti untuk mengobati kakinya yang lumpuh. Ia menjanjikan imbalan yang sangat tinggi bagi slapa saja yang dapat menyembuhkannya.

Namun, meski sudah banyak tabib berusaha mengobati, tak satu pun yang berhasil. Oleh sebab itu ia pun berjanji akan memberikan setengah dari harta kekayaannya bagi siapa saja yang dapat menyembuhkannya dari kelumpuhan.

Si Pengemis berkaki pincang mendengar janji tersebut. Maka ia pun datang menemui sang Saudagar dan menjelaskan apa yang sebenarnya menjadi sebab kelumpuhan kaki sang Saudagar.

"Semua ini adalah ganjalan atas sifatmu yang kikir dan sombong. Agar kakimu sembuh dari kelumpuhan kau harus melaksanakan tiga hal. Pertama, kau harus bisa merubah sifat sombong dan kikirmu itu.

Kedua, kau harus pergi ke kaki Gunung Karang dan carilah sebuah Batu Cekung. Lalu bertapalah kau selama tujuh hari tujuh malam di atas Batu Cekung tersebut, tanpa makan dan minum. Dan ingat, apa pun yang akan terjadi jangan sampai kau membatalkan pertapaan yang kau jalani.

Ketiga, apabila kakimu sudah sembuh seperti biasa, kau harus memenuhi janjimu untuk merelakan setengah dari harta kekayaan tersebut kepada orang-orang miskin di tempat tinggalmu". Setelah berkata demikian, lagi-lagi si Pengemis berkaki pincang tersebut raib begitu saja dari pandangan mata. Sang Saudagar pun sadar bahwa si Pengemis berkaki pincang tersebut bukan orang sembarangan.

Kemudian berangkatlah sang Saudagar dengan menggunakan tandu yang digotong oleh dua orang pengawal pribadinya, menuju ke kaki gunung Gunung Karang. Setelah berhari-hari melakukan perjalanan melewati jalan setapak yang dikelilingi semak belukar dan pepohonan yang lebat, akhirnya sang Saudagar tiba di kaki Gunung Karang dan melihat sebuah Batu Cekung yang dimaksud si Pengemis berkaki pincang.

Karena perjalanan yang sangat melelahkan dan dilakukan tanpa istirahat, kedua orang pengawal pribadi sang Saudagar jatuh pingsan. Padahal Batu Cekung tersebut tinggal beberapa puluh langkah lagi jaraknya.

Terpaksa, dengan bersusah payah sang Saudagar merayap di tanah untuk mencapai Batu Cekung tersebut. Lalu ia pun segera bertapa di atasnya. Selama tujuh hari tujuh malam ia menahan rasa lapar dan haus karena tidak makan dan minum, juga bertahan dari bermacam-macam godaan lainnya, seperti binatang-binatang liar dan makhluk-makhluk halus yang datang mengganggu.

Pada hari terakhir pertapaan, keajaiban pun terjadi. Dari pusat Batu Cekung tersebut menyemburlah sumber mata air panas. Sang Saudagar menyudahi tapanya, lalu bersegera mandi dengan sumber mata air panas dari Batu Cekung tersebut. Keajaiban terjadi lagi, kedua kakinya yang semula lumpuh kini dapat ia gerakkan kembali.

Seperti janjinya semula, maka sang Saudagar membagi-bagikan setengah dari harta kekayaannya kepada orang-orang miskin di sekitar tempat tinggalnya. Para petani di desanya diberikan tanah pertanian sendin untuk digarap. la juga kemudian menikahi seorang gadis cantik anak seorang petani miskin, yang menarik hatinya. Penduduk desa pun tidak lagi membencinya, ia kemudian dikenal sebagai seorang saudagar yang dermawan.

Apabila ada orang bertamu ke rurnahnya, sang Saudagar kerap kali bercerita, perihal keajaiban sumber mata air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang dapat menyembuhkan kelumpuhan kakinya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar luas. Banyak orang yang tertarik untuk mendatanginya. Konon, beberapa macam penyakit lain dapat sembuh apabila mandi dengan sumber mata air panas Batu Cekung tersebut.

Kini, orang-orang mengenalnya sebagai objek wisata sumber mata air panas "Batu Kuwung" (yang berarti batu cekung). Objek wisata yang belum dikelola secara profesional ini, masuk ke dalam wilayah Kecamatan Padarincang, Ciomas, berlatar belakang kaki Gunung karang.



sumber: http://eh.web.id/cerita-rakyat-banten/

download cerita banten lainnya



Selasa, 05 Agustus 2008

hati-hati dengan bahaya plastik pelajari sebelum terlambat

Sudah banyak orang yang memberi peringatan, rumor, gosip bahkan artikel majalah tentang bahaya plastik. Tetapi tetap saja hanya segelintir orang yang menggubris, peduli atau sampai meneliti lebih lanjut.

Plastik adalah salah satu bahan yang dapat kita temui di hampir setiap barang. Mulai dari botol minum, TV, kulkas, pipa pralon, plastik laminating, gigi palsu, compact disk (CD), kutex (pembersih kuku), mobil, mesin, alat-alat militer hingga pestisida. Oleh karena itu kita bisa hampir dipastikan pernah menggunakan dan memiliki barang-barang yang mengandung Bisphenol-A. Salah satu barang yang memakai plastik dan mengandung Bisphenol A adalah industri makanan dan minuman sebagai tempat penyimpan makanan, plastik penutup makanan, botol air mineral, dan botol bayi walaupun sekarang sudah ada botol bayi dan penyimpan makanan yang tidak mengandung Bisphenol A sehingga aman untuk dipakai makan. Satu tes membuktikan 95% orang pernah memakai barang mengandung Bisphenol-A.

Plastik dipakai karena ringan, tidak mudah pecah, dan murah. Akan tetapi plastik juga beresiko terhadap lingkungan dan kesehatan keluarga kita. Oleh karena itu kita harus mengerti plastik-plastik yang aman untuk kita pakai.

Apakah arti dari simbol-simbol yang kita temui pada berbagai produk plastik?

1-PETE#1. PETE atau PET (polyethylene terephthalate) biasa dipakai untuk botol plastik yang jernih/transparan/tembus pandang seperti botol air mineral, botol jus, dan hampir semua botol minuman lainnya. Boto-botol dengan bahan #1 dan #2 direkomendasikan hanya untuk sekali pakai. Jangan pakai untuk air hangat apalagi panas. Buang botol yang sudah lama atau terlihat baret-baret.

2-HDPE#2. HDPE (high density polyethylene) biasa dipakai untuk botol susu yang berwarna putih susu. Sama seperti #1 PET, #2 juga direkomendasikan hanya untuk sekali pemakaian.

3-V#3. V atau PVC (polyvinyl chloride) adalah plastik yang paling sulit di daur ulang. Plastik ini bisa ditemukan pada plastik pembungkus (cling wrap), dan botol-botol. Kandungan dari PVC yaitu DEHA yang terdapat pada plastik pembungkus dapat bocor dan masuk ke makanan berminyak bila dipanaskan. PVC berpotensi berbahaya untuk ginjal, hati dan berat badan.

4-LDPE#4. LDPE (low density polyethylene) biasa dipakai untuk tempat makanan dan botol-botol yang lembek. Barang-barang dengan kode #4 dapat di daur ulang dan baik untuk barang-barang yang memerlukan fleksibilitas tetapi kuat. Barang dengan #4 bisa dibilang tidak dapat di hancurkan tetapi tetap baik untuk tempat makanan.

5-PP#5. PP (polypropylene) adalah pilihan terbaik untuk bahan plastik terutama untuk yang berhubungan dengan makanan dan minuman seperti tempat menyimpan makanan, botol minum dan terpenting botol minum untuk bayi. Karakteristik adalah biasa botol transparan yang tidak jernih atau berawan. Cari simbol ini bila membeli barang berbahan plastik.

6-PS#6. PS (polystyrene) biasa dipakai sebagai bahan tempat makan styrofoam, tempat minum sekali pakai, dll. Bahan Polystyrene bisa membocorkan bahan styrine ke dalam makanan ketika makanan tersebut bersentuhan. Bahan Styrine berbahaya untuk otak dan sistem syaraf. Selain tempat makanan, styrine juga bisa didapatkan dari asap rokok, asap kendaraan dan bahan konstruksi gedung. Bahan ini harus dihindari dan banyak negara bagian di Amerika sudah melarang pemakaian tempat makanan berbahan styrofoam termasuk negara China.

7-other#7. Other (biasanya polycarbonate) bisa didapatkan di tempat makanan dan minuman seperti botol minum olahraga. Polycarbonate bisa mengeluarkan bahan utamanya yaitu Bisphenol-A ke dalam makanan dan minuman yang berpotensi merusak sistem hormon. Hindari bahan plastik Polycarbonate.

Masih banyak sekali barang plastik yang tidak mencantumkan simbol-simbol ini, terutama barang plastik buatan lokal di Indonesia. Oleh karena itu, kalau anda ragu lebih baik tidak membeli. Kalaupun barang bersimbol lebih mahal, harga tersebut lebih berharga dibandingkan kesehatan keluarga kita.

Pada akhirnya. Hindari penggunaan plastik apapun di Microwave. Gunakan bahan keramik, gelas atau pyrex sebagai gantinya.

Hindari juga membuang sampah plastik terutama yang mengandung Bisphenol-A sembarangan karena bahan tersebut pun bisa mencemari air tanah yang pada akhirnya pun bisa mencemari air minum banyak orang.

Semoga informasi ini bermanfaat.


Sumber : akuinginhijau.wordpress.com